Pendidikan Islam Menurut Al Ghazali
Pendidikan Islam Menurut Al Ghazali
Imam al-ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450H. Bertepatan dengan 1050M di Ghazaleh, suatu kota kecil uang terletak di Tus, wilayah Khurasan, dan wafat di Tabristan wilauah propinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tagun 505H, bertepatan dengan 1 desember 1111M.
Al-Ghazali memulai pendidikanya di wilayah kelahirannya, Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengeyahuan. Di dalam madrasah tersebut, Al-Ghozali(seorang anak yang dititipkan tersebut) mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun
Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia islam. Di koya Nisyafur inilah al Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwaimy, seorang ulama yang bermazhab syafi’i yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut:
“Al-Ghozali mempelajari ilmu fiqh, mantiq ,dan ushul, dan dipelajarinya antara lain: filsafat dari risalah-risalah dari ikhwanus shofakarang Al-farabi, Ibnu Miskawaih. Sehingga melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghozali dapat menyelami paham-paham Aristotheles dan pemikir Yunani yang lain. Juga ajaran Imam Syafi’I, Harmalah, Jambad, Al-Muhasibi, dan lain-lain, bukan tidak membekas pada pendidikan Al-Ghozali. Begitu juga Imam Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid Al-Qusyairi yang terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam mengajar tasawuf kepada Al-Ghozali. Ia juga mempelajari agama-agama lain seperti masehi”.
Dan pada tahun 483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhomiyyah Bagdad. Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selama di Bagdad, selain mengajar ia juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismailliyah, filsafat, dan lain-lainnya. Banyaknya keahlian yang dikuasai al Ghazali, tidaklah mengherankan jika kemudian ia mendapat bermacam gelar yang mengharumkan namanya, seperti gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam), Syaikh al-Sufiyyin (Guru Besar dalam Tasawuf), dan Imam al-Murabin (pakar Bidang Pendidikan).
Tujuan Pendidikan Menurut Al Ghazali
Dalam kaitannya dengan pendidikan Al-Ghozali memberi pengertian yang masih global. Selain karena memang dalam kitabnya yang paling Mashur (Ihya’ Ulumuddin) tidak dijelaskan secara rinci tentang pendidikan. Kita hanya bisa mengumpulkan pengertian pendidikannya yang di kaitkan lewat unsur-unsur pembentukan pendidikan yang ia sampaikan:
“sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam…”
“… dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang tidak berkembang”.
Dari konsep ucapannya di atas, kita bisa ambil makna bahwa dalam sebuah pelaksanaan pendidikan harus memiliki tujuan yang berlandaskan pada pembentukan diri untuk mendekatkan peserta didik kepada Tuhan. Disamping itu, dalam proses pendidikan, Al-Ghozali menjelaskan sebuah tujuan pendidikan yang bermuara pada nilai moralitas akhlak. Sehingga tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bersifat keduniawian, pendidikan bukan sekedar untuk mencari materi di masa mendatang. Melainkan pendidikan harus memiliki rasa emansipatoris.
Jadi, tujuan pendidikan Al-Ghazali dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang bepikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
2. Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian kuat.
3. Aspek ketuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat
Kurikulum Menurut Al Ghazali
Pandangan al Ghazali tentang kurikulum dapat kita lihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu dibagi berdasarkan :
1. Berdasar pembidangannya, yaitu:
a. Ilmu syari’at sebagai ilmu terpuji, terdiri atas:
1) Ilmu ushul (ilmu pokok), seperti: ilmu Al Qur’an, sunah Nabi, pendapat sahabat dan ijma’
2) Ilmu furu’ (cabang), seperti: fiqih, ilmu hal ihwal hati dan akhlak
3) Ilmu pengantar (mukaddimah), seperti: ilmu bahasa dan gramatikal
4) Ilmu pelengkap (mutammimah)
b. Ilmu bukan syari’ah, terdiri atas:
a) Ilmu terpuji, seperti: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b) Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan), seperti: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
c) Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu
dari filsafat.
2. Berdasar objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok.
a) Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak seperti: ilmu sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
b) Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau banyak lebih dipelajari, lebih terpuji, seperti: ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c) Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tapi jika mendalaminya tercela karena dapat membawa pada kegoncangan iman, seperti: ilmu filsafat.
3. Berdasar status hukum mempelajari, yang dikaitkan dengan nilai gunanya, dapat digolongkan kepada:
a) Fardu ‘ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, ilmu agama dan cabang-cabangnya.
b) Fardu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun diantara kaum muslimin dan kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud, maka mereka akan berdosa. Contohnya; ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian dll.
Jadi, dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, yang mementingkan sisi-sisi yang faktual dalam kehidupan, yaitu sisi-sisi yang tak dapat tidak harus ada. Al-Ghazali juga menekankan sisi-sisi budaya, ia jelaskan kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Ia tekankan bahwa ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan hakikatnya, tetapi karena hakikatnya sendiri. Sebaliknya Al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai tasawuf dan zuhud.
Dan kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan, yaitu:
1. Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
2. Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnyabagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu tang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.
Tentang Pendidik dan Peserta Didik
Dalam proses pembelajaran, menurutnya, pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan anak. Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan dapat dikatakan bahwa pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih disbandingkan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tua menyelamatkan anaknya dari sengatan api neraka dunia, sedangkan pendidik menyelamatkannya dari sengatan api neraka di akhirat.
Dalam menjelaskan peserta didik Al-Ghozali menggunakan dua kata yakni, Al-Muta’allim (pelajar) dan Tholib Al-Ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Namun, bila kita melihat peserta didik secara makna luas yang dimaksud dengan peserta didik adalah seluruh manusia mulai dari awal konsepsi hingga manusia usi lanjut. Selanjutnya, karena dalam peembahasan ini hanya terkonsentrasi pada wilayah pendidikan formal maka bahasa peserta didik terbebani hanya bagi mereka yang melaksanakan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah.
Pemikiran Al-Ghozali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep peserta didik menurutnya peserta didik adalah manusia yang fitrah. Secara bahasa Kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), sama dengan kata “khalaqa”. Jadi kata fitrah merupakan (isim masdar) yang berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya manusia “asal kejadian”. Konsepnya berlandaskan pemahamannya terhadap penafsiran firman Allah pada surat Ar-Rum ayat 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dan hadis Nabi; “ Nabi Muhammad SAW. Telah bersabda: setiap manusia, dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya kedua orang tuanya yang menjadikan ia yahudi, atau nasrani, ataupun majusi.” (H.R. Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairo) .
Adapun kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian yang sangat luas. Al-Ghozali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa pokok sebagai berikut:
1. Beriman kepada Allah.
2. Kemampuan dan kesedian untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
3. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berfikir.
4. Dorongan biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting.
5. Kekuatan lain lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.
Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghozali dalam memahami peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia. Hanya saja, dalam hal ini pandangan Al-Ghozali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap dekat (taqarrub) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta didik harus berusaha mensucikan jiwanya dari akhlak yang tercela.
Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syarat- syarat tersebut antara lain :
1. Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur. Hal ini sejalan dengan pendapat al- ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan bimbingan dari pendidik.
2. Peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya dan sebagai satu bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang sesamanya.
3. Peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran
4. Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat, melainkan ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguh- sungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tesebut tercapai.
Drs. Abidin ibnu Rusyn, dalam bukunya menjelaskan syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi oleh pesert didik dengan mengacu dari pemahaman pemikiran Al-Ghozali sebagai berikut :
a. Belajar merupakan proses jiwa.
b. Belajar menuntut konsentrasi
c. Belajar harus didasari sikap tawadhu’
d. Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
e. Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
f. Belajar secara bertahap
g. Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
Tentang Metode Dan Media Pembelajaran
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
Prihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang metode dan media pengajaran. Untuk metode, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia.
Tentang Proses Pembelajaran
Mengenai proses pembelajaran, al-ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran.
Alat Pendidikan Menurut Al Ghazali
Alat pendidikan adalah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mempermudah pencapaian suatu tujuan pendidikan.
Alat-alat pendidikan langsung
Alat pendidikan adalah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mempermudah pencapaian suatu tujuan pendidikan. Alat pendidikan langsung di sini dapat diartikan sebagai tindakan atau langkah-langkah yang diambil oleh guru yang ditunjukkan kepada anak didik secara langsung untuk mencapai kelancaran proses pendidikan dan pengajaran.
Al-Ghazali membagi alat pendidikan langsung menjadi dua komponen; alat pendidikan preventif dan alat pendidikan kuratif.
a. Alat pendidikan preventif
1) Anjuran dan Perintah, sebagai pembentuk kesadaran dan pengertian menjalankan kewajiban sehingga kemudian akan tumbuh rasa senang melakukannya, kemudian dengan sendirinya anak melakukannya tanpa perintah melainkan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab.
2) Larangan, untuk menghindarkan anak dari suatu perbuatan yang buruk dan dilarang agama.
3) Disiplin, yaitu kesediaan untuk mematuhi peraturan yang baik, bukan hanya patuh karena tekanandari luar melainkan kepatuhan oleh adanya kesadaran
Al-Ghazali mengkalsifikasikannya lagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut :
1. Peringatan.
2. Teguran.
3. Sindiran.
4. Ganjaran dan,
5. Hukuman.
Berikut tentang ganjaran (hadiah) dan hukuman menurut Al Ghazali .
1. Ganjaran Atau Hadiah.
Ganjaran atau hadiah merupakan salah satu alat pendidikan yang diberikan pada peserta didik sebagai imbalan atas prestasi atau tugas yang tela ia selesaikan dengan baik sehingga hasil yang diharapkan oleh pendidik tercapai.
Dalam hal ini al-Ghozali menjelaskan sebagai berikut :
“ kemudian sewaktu-waktu pada si anak telah nyata budi pekerti yang baik dan perbuatan yang terpuji maka seyogyanya ia dihargai, dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan di puji di hadapan orang banyak (diberi hadiah)”.
Jadi menurutnya ada ada tiga macam ganjaran yang di berikan kepada peserta didik, yaitu:
a. Penghormatan (penghargaan), baik menggunakan kat-kata maupun isyarat.
Yang dimaksud dengan penghormatan lewat kata-kata, misalnya ucapan, baik, bagus sekali, pintar, dan kata-kata lain yang mengandung makna penghormatan. Sedangkan, penghormatan dengan cara isyarat, bisa berupa anggukkan kepala, acungan jempol, tepuk tangan, menepuk bahu dan lain-lain.
b. Hadiah, yaitu ganjaran yang berupa pemberian sesuatu/ materi yang bertujuan untuk menggembirakan hati anak.
c. Pujian di hadapan orang banyak.
Hadiah berupa pujian ini dapat diiberikan di hadapan teman-teman sekelas satu sekolah ataupun di hadapan teman-teman dan orang tua/wali murid, seperti pada waktu penerimaan rapor atau kenaikan kelas.
2. Hukuman.
Hukuman ialah suatu perbuatan sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani,sehingga terhindar dari segala macam pelanggarran. Al-Ghazali tidak sependapat dengan orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat sekaligus memberi hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan.
Al Ghazali menerangkan:
“kalau anak itu satu kali menyimpang dari budi dan perbuatan baik tersebut dalam satu keadaan, maka sebaiknya orang tua pura-pura lupa dari hal itu dan tidak membuka rahasianya, tidak menjelaskan si anak bahwa tergambarlah keberanian orang lain untuk melakukan perbuatan seperti itu. Si anak itu sendiri akan menutup rahasia dirinya dengan sungguh-sungguh, sebab membuka rahasia yang demikian, mungkin menyebabkan ia berani (berbuat lagi) sampai ia tidak dipedulikan lagi biarpun dibukakan rahasianya”.
Jadi, pada tahap pertama, anak diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia mempunyai rasa kepercayaan terhadap dirinya kemudian ia merasakan akibat perbuatannya tersebut. Akhirnya ia sadar dan insaf terhadap kesalahannya dan berjanji dalam hatinya tidak akan mengulangi kesalahannya.
Apabila dalam tahap pertama ini belum berhasil maka dilanjutkan tahap yang kedua, yaitu berupa teguran, peringatan, dan nasihat-nasiahat sebagaimana penjelasan Al-Ghazali .
“maka dalam tindakan yang demikian kalau si anak masih kembali lagi berbuat tidak baik untuk kedua kalinya, maka sebaiknya ia tegur dengan sembunyi dan persoalan itu dianggap besar (akibatnya) terhadap anak itu. Kepadanya dikatakan awas setelah ini engkau jangan berbuat seperti ini lagi ya, kalau sampai ketahuan engkau berbuat demikian, rahasiamu akan diberitahukan kepada orang banyak. Selanjutnyya setiap kali orang tua menegur anak, janganlah banyak bicara dengan hal ini, sebab banyak bicara disini akan menyebabkan si anak enteng mendengar celaan, menganggap mudah mmelakukan kejahatan-kejahatan dan perkataan (nasihat) itu tidak meresap dalam hati si anak”.
Pada tahap yang kedua ini apabila masih belum berhasil, maka Al-Ghozali memperbolehkan untuk memberikan hukuman kepada anak anak dengan cara yang seringan-ringannya dan tidak terlalu menyakitkan badannya.
Komentar
Posting Komentar